Assalamu'alaikum wr. wb.
Wah, gambar di atas penuh makna banget ya, teman? Saya jadi
teringat beberapa hari yang lalu, ba'da maghrib ketika sedang asik baca buku di
loteng, saya dipanggil oleh Ibu X dari bawah. Beliau berkata bahwa sekitar jam
7 nanti akan ada tetangga yang datang ke rumah. Tetangga yang dimaksud ini
masih kelas satu SMA, dan tujuannya datang ke rumah adalah untuk meminta
bantuan mempelajari materi yang dia bilang besok mau dites sama gurunya. Okey,
sebutlah dia si Adik X dan materi yang dimaksud adalah Trigonometri. Karena
emang saya tinggal di rumah saudara itu untuk menemani anak-anak yang les,
jadinya saya deh yang disuruh bantuin si adik X ini belajar, lebih tepatnya
mungkin menemani ya, bukan bantuin.. Jujur saya agak bingung, takutnya
gak bisa karena sadar biasanya materi SMA sama SMK itu beda. Setidaknya itu
yang pernah guru saya katakan ketika sedang bersama-sama memecahkan soal
Matematika di kelas XII lalu. Mau nolak ya gak mungkin lah ya, akhirnya saya
iyakan, sambil pamit ke kamar mau mempelajari terlebih dahulu Trigonometri
itu.
Ketika kembali ke kamar, saya bingung persisnya materi apa yang
dimaksud itu. Tapi daripada kosong, saya putuskan untuk mempelajari
dasar-dasarnya saja. Harap saya, dengan mempelajari hal ini setidaknya bisa
sedikit menyamarkan kebingungan saya nanti di hadapan si Adik X ini, haha
Selang beberapa menit, baru saja saya membaca sin A = sisi depan
dibagi sisi miring, cos A = sisi samping dibagi sisi miring, dan tan A =
perbandingan antara sin A dengan cos A (koreksi ya kalau saya salah..) si Adik
X itu datang, saya semakin dibuat panik, tapi mau bagaimana lagi, ini sudah
tanggung jawab saya. Saya kembali turun dan menghampiri si Ibu X dan Adik X
ini. Pertama kali saya melihat si Adik X ini, nyali saya semakin ciut. Hati
saya berkata, dari wajahnya, Adik X ini pasti sekolah di SMA favorit yang dulu
saya idamkan. Tapi saya berusaha menepis perasaan tersebut dan berusaha untuk
tetap terlihat calm, hehe
. Di awal saya coba melakukan pemanasan dengan membaca sekilas buku yang dibawa
Adik X ini. Dan betapa terkejutnya saya melihat buku itu, karena saya
benar-benar tidak mengerti dengan isinya. Tapi sekali lagi, saya berusaha untuk
tetap calm dan meminta ijin kepada Ibu X
untuk mengajak Adik X belajar di kamar saya saja, di lantai atas. Tujuan utama
saya adalah agar saya bisa lebih leluasa dan menyembunyikan kebingungan
saya dari Ibu X. Iya, saya malu banget sebenarnya, dan saya tahu Ibu X juga
pasti paham benar apa yang ada dalam benak saya, meskipun dia terlihat seperti
biasa saja.
Singkat cerita kami benar-benar mempelajarinya bersama-sama,
sambil saya selingi beberapa pertanyaan yang tidak terlalu penting agar bisa
menambah waktu bagi saya untuk mencermati apa yang dibutuhkan untuk membantu
adik X ini juga sekaligus menyelamatkan harga diri saya, haha (gak segitunya
juga sih ya). Alhamdulillah, tak berapa lama pertolongan Allah datang, saya
menemukan apa yang kami cari. Satu jam berlalu materi sudah tersampaikan.
Sebenarnya metode yang saya gunakan sederhana, terus memberikan latihan soal
dengan harapan daya ingat si Adik X ini semakin terasah, mengingat tes akan
dilakukan esok hari, dan materi yang harus dia kuasai cukup banyak. Sampai
entah di menit keberapa, saya tanya dia sekolah dimana, dan jeng jeng, benar
dugaan saya, dia sekolah di SMA Favorit (SMA X) yang dulu saya bermimpi untuk bersekolah
disana. Ada rasa sedih, mengingat saya yang tidak berjodoh untuk menempuh
pendidikan disana, tapi juga ada rasa senang, karena tanpa sekolah disana pun
saya setidaknya sudah tahu bagaimana rasanya belajar bersama murid SMA X itu
dan tahu seperti apa suasana belajar disana dari cerita-cerita selingan yang
Adik X ini ceritakan kepada Saya.
Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan malam, Adik X ini merasa
cukup dan pamit untuk pulang. Dari sepulangnya Adik X ini saya menyadari satu
hal, bahwa ilmu itu, bukan tentang dimana kita menempuh pendidikan, bukan
tentang dengan siapa kita belajar, bukan tentang seberapa banyak yang sudah
kita hafal, tapi tetang pengamalannya, sejauh mana apa yang sudah kita dapat
kita lempar kembali kepada orang lain agar orang lain juga bisa merasakan apa
yang kita rasakan, mengetahui apa yang kita ketahui, menguasai apa yang kita
kuasai, dan bagaimana agar ilmu itu bisa berdampak pada hidup kita. Teringat
kisah saya dulu yang selalu berambisi menguasai segala ilmu, selalu berambisi
untuk menjadi yang nomor satu, tapi lupa hakikat nomor satunya orang berilmu
itu seperti apa. Saya yang selama 6 tahun masih saja merutuki keadaan yang
tidak mengijinkan saya menempuh pendidikan di beberapa sekolah yang saya
impikan hari ini sadar bahwa sesuatu yang luar biasa, tidak akan telihat luar
biasa jika datang dari hal luar biasa dengan fasilitas luar biasa pula, karena
hal demikian itu tidak memerlukan perjuangan luar biasa. Tapi justru datang
dari hal biasa dengan fasilitas seadanya sehingga mendorong adanya pejuangan
yang tidak biasa.
Waduuh, sepertinya cerita ini sudah terlalu panjang, hehe. Oh iya,
intinya Saya ingin mengingatkan rekan semua, bahwa sesuatu itu dikatakan ilmu
jika ia diamalkan.
Akhirul kalam, Saya berterima kasih kepada Tuhan atas
kehendak-Nya menempatkan saya disini. Tempat yang justru tak pernah ada dalam list impian Saya, yang telah berhasil
mencungkil paham-paham yang sebelumnya tak bisa Saya bayangkan.
Comments
Post a Comment