Ujian
untuk Setiap Kebaikan
Bukanlah hal mudah untuk tetap
melakukan kebaikan dalam setiap keadaan. Dalam perjalanannya, kita akan diuji
dengan banyak alasan untuk meninggalkan kebaikan demi kebaikan. Ya, memang
hampir tidak ada yang menyadari, bahwa untuk setiap kebaikan yang kita
sampaikan memiliki ujiannya masing-masing. Kita akan diuji sampai kebaikan itu
benar-benar melekat pada diri kita hingga bisa berjalan di luar kesadaran.
Entah kebaikan itu berupa nasihat atau perbuatan nyata, ujian tetap ada. Sampai
di sini, jika Anda berpikir untuk menghindari ujian tersebut, Anda benar-benar
masuk dalam jurang kerugian. Mengapa?
Karena adalah ujian demi ujian itu yang menjadi nyawa dari hidup Anda, menjadi
jalan bagi banyak kebaikan yang bisa dan memang seharusnya Anda dapatkan.
Sejak kecil Saya selalu dianggap
lebih dewasa dibanding teman sejawat Saya. Sebagian berasumsi bahwa hal
demikian itu wajar karena kebiasaan Saya yang lebih sering berbincang dengan
orang yang lebih berumur dibanding teman sebaya. Karenanya, teman-teman selalu
meminta pendapat Saya ketika mereka dihadapkan pada berbagai macam persoalan.
Anehnya, Saya justru senang dengan hal itu. Sama sekali tidak keberatan walau
sering kali mereka datang saat Saya sendiri sedang banyak persoalan yang harus
diselesaikan. Semakin banyak dan sering Saya membantu teman-teman, semakin
sering persoalan menghampiri Saya. Dan persoalan itu selalu berkaitan dengan
kebaikan yang Saya sampaikan. Mengajak untuk lebih ikhlas menerima keadaan,
Saya diuji dengan hilangnya satu harapan. Mengajak untuk konsisten melakukan
kebaikan, Saya diuji dengan rasa bosan tak tertahankan. Mengajak bahwa memberi
menjadikan kita semakin memiliki, Saya diuji dengan kehilangan apa yang Saya
cintai. Terus seperti itu, sampai Saya menemukan sebuah pola. Ya, ada pola
antara kebaikan dengan ujian.
Pola itu kian hari kian terasa
nyata. Sampai di akhir masa SMA, Saya dan teman-teman tak lagi berjalan
beriringan, masing-masing dari kami akan mencari jalan menuju impiannya. Saya
melanjutkan ke perguruan tinggi dimana tak seorang pun Saya kenal di sana. Sengaja,
karena keputusan untuk kuliah bukan sepenuhnya keinginan Saya (bagian ini akan
kita bahas di bab lain). Sejak saat itu tak banyak perbincangan yang Saya lakukan.
Bahkan tak sedikit orang mengaku takut untuk sekadar menyapa Saya (hal ini Saya
ketahui setelah bersahabat baik dengan mereka). Waktu waktu luang dalam
perkuliahan sepenuhnya Saya habiskan untuk berdiam diri di perpustakaan. Kosong,
itu yang Saya rasakan. Enam bulan pertama di sana, hidup Saya seperti berjalan
di tempat. Tak ada apa pun yang terjadi.
Bulan ke tujuh dan setelahnya,
Saya mulai menerima bahwa ini adalah bagian dari skenario Tuhan yang harus Saya
jalani. Sepenuhnya Saya hidup dalam kehidupan baru ini. Perlahan mulai terbuka
terhadap orang-orang baru dan bersahabat baik dengan mereka. Karena kedekatan
kami, sifat Saya yang senang berdiskusi pun tak dapat lagi Saya bendung. Satu
per satu teman mengaku senang mengetahui hal itu. Dan semua berjalan seperti
dulu, semakin banyak Saya berbagi pengertian (baca: menyampaikan kebaikan)
semakin banyak hal yang bisa Saya pelajari, untuk kemudian semakin banyak Saya
mengerti. Pada akhirnya, pengertian inilah sebenar-benar kebaikan yang Saya,
Anda, dan setiap jiwa butuhkan.
Barang siapa yang
mengerjakan amal yang saleh maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barang
siapa mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian
kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan.
(Al-Jatsiyah [45]: 15)
|
Kebaikan
itu Menular
Benar adanya, bahwa
hanya Tuhan penulis skenario terindah dalam hidup ini. Satu di antara keajaiban
skenario Tuhan yang paling membuat Saya bersyukur dilahirkan sebagai manusia
ialah Virus Kebaikan. Dan diantara
sekian banyak virus, inilah satu-satunya virus
yang Saya syukuri kehadirannya. Lebih jauh, Saya bersyukur karena virus ini
menular tanpa ampun terhadap siapa pun.
Salah seorang teman
dekat yang sekaligus teman setia duduk berdampingan di kelas semasa SMA adalah
orang paling baik yang sampai hari ini Saya temui. Lebih dari itu, dia adalah
bagain dari penguat keyakinan Saya untuk terus menebar kebaikan. Ia bukan orang
yang berasal dari keluarga mapan yang bisa bersedekah melimpah, ia bukan orang cerdas
yang bisa memecahkan setiap persoalan. Sebaliknya, dilihat dari sudut manapun
hanya kesederhanaan yang melekat pada dirinya. Satu darinya yang membuat Saya
iri juga senang. Ia selalu siap dan sigap dalam membantu orang lain tanpa
pernah merasa dimanfaatkan.
Pernah dalam suatu
waktu Saya merasa ada orang yang berusaha memanfaatkan kebaikannya itu. Ya, bukan
teman Saya yang marah, malah Saya yang jadi geram. Tapi kemudian teman Saya
justru berusaha menahan dan mengalihkan perhatian Saya dengan sebuah cerita. Cerita
bahwa ia juga merasa dirinya tengah dimanfaatkan. Tapi ia memilih untuk tidak
mengizinkan rasa itu mengusai dirinya. Saat Saya tanya apa alasan yang bisa
membuatnya bersikap sebaik itu, jawab ia sederhana. Karena hidupnya juga
terselamatkan atas kebaikan orang lain. Oleh karenanya, ia juga ingin agar
orang lain merasakan hal yang sama untuk kemudian menularkan kebaikan itu
terhadap setiap orang agar dunia ini hanya dipenuhi dengan kebaikan.
Comments
Post a Comment